Belakangan ini, tren menyantap telur setengah matang lagi ramai banget di media sosial. Makanan yang satu ini memang punya banyak penggemar karena teksturnya lembut, rasanya gurih, dan aromanya khas banget. Gak heran kalau banyak orang menjadikannya pilihan favorit untuk sarapan atau teman makan mi instan.
Tapi di balik kenikmatannya yang sederhana itu, ternyata ada hal menarik yang jarang diketahui banyak orang, yaitu protein dalam telur setengah matang sebenarnya gak bisa diserap tubuh secara maksimal. Alasan sederhananya, karena proses pemanasannya belum sempurna, membuat struktur protein di dalam telur belum sepenuhnya “terbuka” atau berubah, sehingga tubuh jadi kesulitan mencernanya dengan baik.
Mau tahu lebih lanjut? Sini deh, aku jelasin secara simpel!
Denaturasi: Kunci dalam Pencernaan Protein
Sebelum bahas lebih jauh, kenalan dulu yuk sama protein. Jadi, protein itu sebenarnya molekul besar yang tersusun dari rangkaian panjang asam amino, bisa dibilang kayak untaian rantai yang saling menyambung. Nah, di dalam telur sendiri, dua jenis protein yang paling dominan adalah ovalbumin dan ovotransferrin, yang masing-masing punya peran penting buat nilai gizi telur itu sendiri.
Nah, kalau telur masih mentah, bentuk proteinnya itu masih rapat banget dan melingkar kayak gulungan benang. Dalam kondisi protein yang seperti itu, tubuh kita ini belum bisa langsung mencernanya. Protein perlu “dibuka” atau diurai dulu supaya bisa dicerna dan diserap dengan baik oleh sistem pencernaan.
Lalu, pas telur mulai dipanaskan, terjadilah proses yang disebut denaturasi. Secara sederhana, panas bisa membuat ikatan-ikatan di dalam protein jadi lepas, jadi struktur protein yang tadinya rapat mulai terbuka. Kalau udah terbuka begini, enzim pencernaan seperti pepsin dan tripsin jadi lebih gampang “memotong” protein itu jadi potongan kecil berupa asam amino, sehingga tubuh bisa me nyerapnya dengan lebih mudah.
Tapi kalau telurnya cuma dimasak setengah matang, proses denaturasinya belum terjadi sepenuhnya. Artinya, masih banyak protein yang belum “terbuka” dengan baik, jadi enzim pencernaan susah buat ngolahnya. Akibatnya, protein dari telur setengah matang ini gak bisa diserap maksimal oleh tubuh, bisa dibilang, sebagian gizinya jadi kebuang percuma.
Sebuah Fakta Sains: Telur Matang Lebih Gampang Dicerna!
Sebuah penelitian milik (Rehault-Godbert dkk. 2019), berpendapat bahwa tubuh bisa menyerap sekitar 91-94% protein dari telur matang, sedangkan telur mentah cuma sekitar 51%. Jadi, hampir separuh protein dari telur mentah atau setengah matang sebenarnya gak benar-benar diserap tubuh.
Selain itu, telur yang belum matang juga masih punya avidin, yaitu protein yang bisa “mengikat” biotin (vitamin B7) dan bikin penyerapan vitaminnya terhambat. Nah, karena itu proses pemanasan sampai matang sempurna ini penting banget biar avidin-nya hilang dan gizinya bisa diserap maksimal
Walau begitu, bukan berarti kamu gak boleh makan telur setengah matang, ya. Selama telurnya masih segar dan asalnya jelas, risiko bakterinya bisa ditekan. Banyak orang juga lebih suka telur setengah matang karena teksturnya lembut dan gak kering kayak telur yang digoreng atau direbus sempurna seperti biasa.
Tapi, kalau tujuan kamu makan telur itu buat dapetin protein yang benar-benar terserap maksimal sama tubuh, telur matang penuh tetap jadi pilihan paling aman dan efisien. Cara masak seperti direbus, dikukus, atau dimasak dengan suhu sedang dalam waktu tertentu udah cukup buat bikin proteinnya “terbuka” sempurna tanpa bikin hilang kandungan gizinya.
Jadi, Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Fenomena soal telur setengah matang ini bisa jadi pengingat penting buat kita, bahwa cara kita mengolah makanan bisa berpengaruh besar pada nilai gizinya. Itulah kenapa evaluasi nilai gizi pangan penting dilakukan, supaya kita tahu seberapa efektif tubuh menyerap nutrisi dari makanan yang kita konsumsi. Dalam kehidupan sehari-hari, hal sederhana seperti cara memasak ternyata dapat menentukan seberapa banyak manfaat gizi yang benar-benar kita dapat, lho. Jadi, gak cuma soal rasa, tapi juga bagaimana kita bisa makan dengan lebih cerdas dan bernilai gizi tinggi.
Penulis: Elisha Firli Nurjanah – Universitas Sultan Ageng Tirtayasa




Komentar