#KaburAjaDulu
Beranda » Blog » Ruang Digital sebagai Arena Perlawanan: Membaca #KaburAjaDulu Lewat Kacamata Budaya Populer

Ruang Digital sebagai Arena Perlawanan: Membaca #KaburAjaDulu Lewat Kacamata Budaya Populer

Halo Nusantara, Bagi banyak orang, trend “#KaburAjaDulu” mungkin hanya generasi anak muda fomo yang pingin hidup di luar negeri. Tapi menurut saya yang makin merasakan bahwa kerasnya realita sosial, trend ini jauh lebih dari itu. Bukan cuma hanya ekspresi personal, tetapi merupakan gejala budaya yang menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami konflik makna besar-besaran antara idealisme nasionalisme vs realitas keterbatasan.

Melalui perspektif Media & Cultural Studies, khususnya konsep budaya sebagai arena konflik makna, saya memandang fenomena ini sebagai contoh nyata bagaimana ruang budaya (seperti TikTok, X, Instagram) menjadi medan pertempuran ideologis antara generasi muda dan struktur kekuasaan yang kaku dan tidak mendukung generasi sekarang untuk berkembang. Secara ideal, Pancasila merupakan rujukan nilai dalam praktik bernegara dan berbangsa. Krisis budaya terjadi dalam bentuk pertentangan antara nilai-nilai ideal (ideologi) Pancasila dan kenyataan (Kompas.id).

Budaya sebagai Arena Konflik: Siapa  Mengatur Makna “Membangun Negeri”?

Selama ini, narasi tentang “membangun negeri” cenderung di atur oleh negara dan lembaga formal. Generasi muda idealnya tetap tinggal, bekerja keras untuk negara dan tidak “kabur ke luar”. Narasi ini dibungkus dengan semangat nasionalisme, cinta tanah air dan bahkan dianggap sebagai bentuk moralitas sosial. Namun lewat #KaburAjaDulu, kita bisa melihat bagaimana generasi muda mulai menantang makna dominan tersebut dan menciptakan cara pandang baru bahwa “kabur” bukan berarti lari, tapi bisa jadi adalah cara mereka untuk bertahan hidup, berkembang, dihargai atau bahkan bentuk kasih sayang pada negera dengan cara yang berbeda.

Masa depan kebangsaan Indonesia sangatlah ditentukan oleh generasi muda terdidik dan terlatih, apalagi mereka adalah generasi yang banyak mendapatkan berbagai pengetahuan teoritik maupun praktis di Perguruan Tinggi tentang tema-tema pembangunan bangsa (disperkimta.bulelengkab.go.id).

Konten – konten di TikTok  yang menampilkan lagu sedih, potongan klip bandara, atau cuplikan hidup nyaman di luar negeri bukan semata-mata ajakan pergi. Itu adalah bentuk simbol protes budaya yang menyatakan kalau sistem yang ada sekarang belum mampu memberi ruang yang layak untuk tumbuh. Di titik ini, konflik makna muncul ketika negara terus memaksakan idealisme lama, sementara generasi muda menunjukkan kenyataan baru yang mereka hadapi.

Surga Indonesia Terancam: Membedah Kampanye Greenpeace Dan Hegemoni Narasi Atas Isu Pertambangan

Menantang Struktur Kekuasaan dan Ideologi Lama

Struktur kekuasaan dalam konteks ini adalah sistem ekonomi, birokrasi yang rumit, dunia kerja yang tidak memberi harapan, serta institusi pendidikan yang makin mahal namun tidak relevan dengan dunia nyata. Mengedepankan gagasan bahwa kebijakan publik sebagai perolehan sosial maksimum (maximum social gain) yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat (lmsspada.kemdiktisaintek.go.id).

Lewat #KaburAjaDulu, generasi muda menunjukkan penolakan terhadap semua itu. Mereka bertanya, “Kenapa kami harus tetap bertahan di sistem yang bahkan nggak bisa menjamin hidup layak?”. Praktik budaya ini secara tidak langsung mengganggu dominasi narasi nasionalisme versi negara. Merka menciptakan ruang tandingan, di mana tumbuhnya narasi baru yang dibangun dari komunitas yang saling berbagi info beasiswa, peluang kerja luar negeri, bahkan cara “bertahan hidup” dari tekanan sosial di Indonesia.

Refleksi Kritis: Bukan Anti-Negeri, Tapi Pro-Ruang Hidup

Buat saya, #KaburAjaDulu bukan soal benci tanah air. Sebaliknya, ini menunjukkan bahwa generasi muda sadar dan kritis terhadap kondisi yang ada. Mereka nggak mau terus-terusan jadi korban dari sistem yang kaku. Kita tidak bisa mengandalkan retorika cinta tanah air tanpa disertai kebijakan yang benar-benar mendukung mereka.

Banyak dari kita mungkin memang harus pergi dulu, supaya bisa kembali membawa sesuatu yang berarti. Selama masih ada ruang untuk pulang, banyak juga yang sebenarnya ingin berkontribusi di Indonesia. Namun kalau negara terus tutup telinga, trend ini mungkin akan tetap ada dan terus tumbuh.

Rumusan Tindakan Praksis & Gagasan Emansipatoris

Agar konflik makna ini tidak menjadi jurang yang memisahkan generasi muda dan negara, menurut saya ada beberapa langkah praktis:

Gemoy Banget! Apa Politik Cukup Sekadar FYP?

  1. Mengganti Narasi Dominan dengan Wacana Inklusif
    Pemerintah dan media besar perlu mulai memberi ruang bagi narasi generasi muda. Kampanye soal cinta tanah air nggak bisa lagi hanya datang dari atas, tapi harus tumbuh dari kenyataan di lapangan, bahwa proses bertumbuh bisa dimulai di mana saja, asalkan ada niat untuk kembali dan ikut membangun
  2. Membangun Program “Brain Circulation” Nyata
    Negara perlu merancang kebijakan yang mendukung anak muda Indonesia menimba ilmu di luar negeri, sambil tetap membuka pintu pulang. Misalnya dengan memberi akses bekerja di sektor strategis, berkontribusi dalam riset, atau jadi pengajar di daerah.
  3. Perkuat Ruang Budaya Digital Sebagai Arena Kritik Konstruktif
    Jangan anggap TikTok dan Instagram hanya tempat ‘alay’. Justru di sanalah banyak anak muda menyuarakan keresahan dan ide-ide segar. Negara dan institusi perlu hadir bukan untuk mengatur-atur, tapi untuk mendengar dan memahami.

Sumber :

https://www.kompas.id/artikel/perang-budaya/amp

https://disperkimta.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/generasi-muda-masa-depan-bangsa-38

https://lmsspada.kemdiktisaintek.go.id/mod/resource/view.php?id=148317

Video ke 1

https://www.tiktok.com/@virdianaurellio/video/7520934257372564792?is_from_webapp=1&sender_device=pc&web_id=7417107747529115144

Mahasiswi DMB ISI Surakarta Bawa Ikon Kampus ke Dunia Batik Lewat Program MBKM Mandiri di Uni Batik Laweyan

Video ke 2

https://www.tiktok.com/@ikamm.rs/video/7470130246264622391?is_from_webapp=1&sender_device=pc&web_id=7417107747529115144

Penulis: Alamsyah Dwiki Dharmawan Putra / 1152400247 / Mahasiswa Universitas 17 Agustus Surabaya

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *