Pendapatan Tidak Menjamin Pola Konsumsi
Beranda » Blog » Benarkah Pendapatan Tidak Menjamin Pola Konsumsi Pangan yang Baik? 

Benarkah Pendapatan Tidak Menjamin Pola Konsumsi Pangan yang Baik? 

Seperti yang kita ketahui, pola konsumsi masyarakat telah menjadi perhatian, terutama bagi kelompok yang kesulitan dalam mengakses ketersediaan pangan. Namun, bukan berarti mereka yang berkecukupan selalu mengimplementasikan pola konsumsi pangan yang baik. Fenomena ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan merupakan isu yang kompleks dari seluruh lapisan masyarakat.

Berdasarkan data yang diperoleh dari BKKBN, indikator ketahanan pangan tersebut bukan hanya tentang ketersediaan pangan, tetapi berupa akses, pemanfaatan, dan stabilitas pangan. Faktanya, pola konsumsi masyarakat Indonesia cenderung didominasi oleh makanan olahan dan cepat saji, serta tingginya konsumsi Gula, Garam, dan Lemak (GGL) dalam kehidupan sehari-hari. Ketidakseimbangan pola konsumsi ini menyebabkan banyak masyarakat mengalami malnutrisi ganda, baik berat berlebih maupun gizi yang kurang.

Lantas, sejauh mana pendapatan benar-benar berpengaruh terhadap pola konsumsi dan ketahanan pangan?

Pola konsumsi masyarakat mencerminkan tingkat preferensi, kebiasaan makan, dan tingkat kesadaran akan gizi yang berpengaruh terhadap produksi dan distribusi pangan. Dampak dari kebijakan swasembada pangan pada era orde baru telah menjadikan negara Indonesia sangat bergantung pada produksi dan impor beras. Akibatnya, muncul stigma bahwa seseorang “Belum Kenyang, Kalau Belum Makan Nasi.”

Kebiasaan konsumsi pangan terus terbentuk seiring dengan stigma yang melekat dalam aktivitas seharihari. Beras tetap menjadi sumber karbohidrat utama, terlepas dari pendapatan rumah tangga kelas menengah maupun kelas atas. Hanya saja, teruntuk rumah tangga kelas atas yang melek akan gizi cenderung menambahkan lebih banyak variasi dalam pola makan dan isi piringnya, seperti memperkaya asupan protein dan serat.

Mengapa Kecoak Bisa Mati Dalam Posisi Terbalik?

Di sisi lain, konsumsi makanan ultra-proses seperti makanan olahan, minuman manis, dan camilan asin juga marak di kalangan rumah tangga kelas menengah atas. Berbagai inovasi kuliner dengan beragam olahan, termasuk penggunaan tepung dan minyak berlebih, memiliki penampilan yang jauh lebih menggugah selera. Namun, tingginya konsumsi pangan berbahan tepung atau pemanis buatan dapat memicu ketergantungan pada makanan tinggi kalori namun rendah nutrisi. Jika dibiarkan, pola konsumsi ini berisiko meningkatkan berbagai penyakit kronis, seperti jantung, ginjal, diabetes tipe 2, obesitas, hingga kanker.

Pola konsumsi berlebih tidak hanya berkontribusi pada masalah kesehatan, tetapi juga dapat mempengaruhi ketahanan pangan secara keseluruhan. Konsumsi makanan ulta-proses, ketergantungan pada satu jenis karbohidrat, dan kebiasaan pola konsumsi yang buruk menunjukkan bahwa kelebihan dalam konsumsi tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas dan keberagaman pangan. Meskipun akses terhadap pangan melimpah, kesadaran akan gizi dan pola makan yang sehat dan seimbang masih sering terabaikan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan risiko penyakit kronis dan memperburuk kondisi ketahanan pangan.

Untuk meningkatkan ketahanan pangan, penting bagi masyarakat untuk mengadopsi pola konsumsi yang lebih beragam dan bergizi. Selain upaya diversifikasi pangan yang harus didorong, perlu membangun kebiasaan konsumsi pangan segar dan minim olahan. Sebagai langkah awal, kebiasaan konsumsi yang dibangun dapat meningkatkan asupan nutrisi dan mengurangi ketergantungan terhadap pola konsumsi yang buruk. Upaya ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang menggalakkan pola konsumsi Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman (B2SA) dalam menciptakan ketahanan pangan yang lebih kuat.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *